TERORISME
KELOMPOK 2 : HADY RANGGA LOLEH
MUSTAJIB
WAHYUDDIN
Pengertian terorisme
Istilah teroris oleh para ahli kontra terorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad,mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York,Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedungPentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia[1]. Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional[2]. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia[3], yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill[4].
Adapun hal-hal yang mencakup tentang teroris di antaranya
1. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Hague, 16 Desember 1970.
2. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Montreal, 23 September 1970.
3. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Tindak Pidana Terhadap Orang-Orang yang secara Internasional Dilindungi, termasuk Agen-Agen Diplomatik”, ditandatangai di New York, 14 Desember 1973.
4. Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun dimana negara-negara anggota SAARC adalah pihak-pihak yang mengharuskan anggotanya untuk menuntut atau melakukan ekstradisi.
5. Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan, penculikan, kejahatan yang berhubungan dengan senjata api, senjata, bahan peledak dan bahan-bahan lain yang jika digunakan untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian atau luka yang serius atau kerusakan berat pada harta milik.
Selain itu Disebut juga bahwa tindak pidana terorisme adalah tindakan kejahatan dalam rangka mencapai tujuan teroris di negara-negara yang menjalin kontak atau melawan warga negara, harta milik atau kepentingannya yang diancam hukuman dengan hukuman domestik. Tindak kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi sebagai berikut, kecuali yang belum diratifikasi oleh negara-negara yang menjalin kontak atau dimana kejahatan-kejahatan tersebut dikecualikan oleh perundang-undangan mereka. Juga dianggap sebagai tindak kejahatan teroris, adalah tindakan yang melanggar antara lain ke 12 konvensi multilateral.
Resiko nyata aksih terorisme di dunia
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi actual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi terorisme sebagai musuh internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.
Terorisme seakan sudah menjadi kata yang kian akrab bagi masyarakat Indonesia. Berbagai rentetan aksi terorisme telah terjadi di Indonesia, sejak Bom Bali I tahun 2002 hingga kini seakan seperti bom waktu peristiwa itu selalu saja terjadi. Beberapa peristiwa teror terbaru yang pastinya masih lekat di ingatan kita semua, seperti aksi teror yang beberapa kali terjadi di Kota Solo dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Pada 17 Agustus 2012 warga kota Solo digemparkan oleh peristiwa penembakan Pos Pengamanan Polisi di Gemblegan serta pelemparan petasan pada Pos Polisi Gladak yang terjadi pada malam sebelum hari Idul Fitri. Puncak dari aksi teror tersebut pada Jumat malam 31 Agustus 2012 dimana terjadi aksi penembakan di Pos Polisi Singosaren menewaskan seorang anggota kepolisian (
Terorisme menjadi suatu ancaman nyata masyarakat saat ini. Aksi teror menyasar berbagai tempat dan kalangan, mulai dari tempat hiburan, restoran, hotel, tempat ibadah dan bahkan pos pengamanan yang dijaga polisi sekalipun tidak luput menjadi sasaran. Terorisme juga menyasar berbagai daerah, tidak hanya kota-kota besar seperti Denpasar dan Jakarta saja,bahkan kota yang seperti Cirebon dan Solo juga tempat sasaran para teroris. Terorisme layaknya benih tanaman yang sudah di tanam dan berhasil tumbuh di berbagai tempat. Oleh karena itu, perlu menjadi perhatian besar bahwa terorisme kini bukan lagi mengancam keamanan nasional, keamanan ibukota saja namun lebih jauh telah menjadi ancaman nyata seluruh masyarakat di setiap wilayah perkotaan, bahkan kota-kota kecil.
Belakangan diketahui bahwa kecenderungan aksi teror di Indonesia mengarahkan sasarannya di wilayah perkotaan, baik kota-kota besar ataupun kota-kota kecil. Lebih dari itu diketahui pula beberapa kota juga menjadi basis kelompok dan jaringan teroris seperti Kota Solo, Cirebon dan bahkan Jakarta. Hal tersebut terbukti dengan penangkapan para terduga teroris di kota-kota tersebut oleh aparat kepolisian. Fakta tersebut menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam mengapa wilayah perkotaan tidak saja menjadi sasaran aksi terorisme bahkan menjadi tempat nyaman bagi mereka menyebarkan ideologi mereka hingga dapat dengan leluasa merekrut anggota-anggota baru. Untuk itu makalah ini dimaksudkan untuk dapat menguak dibalik terorisme di perkotaan serta dampaknya bagi masyarakat perkotaan.
Dampak terorisme bagi masyarakat
Terorisme sendiri pada akhirnya juga akan menghasilkan berbagai dampak, baik negatif maupun positif bagi masyarakat. Dampak negatif tersebut selain kerusakan fisik, mental serta sosial masyarakat secara umum, juga akan merusak sektor ekonomi dan sektor pariwisata wilayah sasaran. Isu keamanan sangat berpengaruh dalam sektor pariwisata, karena dapat menyebabkan wisatawan enggan berkunjung ke wilayah yang terjadi aksi teror. Masih hangat dalam ingatan bagaimana sektor pariwisata di Bali begitu terpuruk karena penurunan jumlah wisatawan yang berkunjung pasca Bom Bali I dan II. Hal itu juga yang terjadi di Kota Solo pasca rentetan aksi teror beberapa bulan lalu, yang menyebabkan pembatalan dan pemunduran jadwal kunjungan wisatawan di Kota Solo yang diungkapkan oleh salah satu biro perjalanan di Solo yaitu Manajer Mandira Tour, Ponco Akhiryanto (http://www.tempo.co).
Dampak negatif terorisme juga mengancam sektor ekonomi khususnya dalam investasi, sangat mungkin para investor menjadi ragu berinvestasi karena faktor keamanan yang tidak terpenuhi. Senada dengan hal tersebut, Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Ekonomi Daerah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Surakarta, Liliek Setiawan mengatakan fenomena terorisme Solo mulai berdampak pada sektor TTI, yakni tourism, trading, and investment yang pasti akan terpukul. Kalau tidak bisnis pariwisata mandek, tidak akan tercipta transaksi perdagangan. Hal ini akan berdampak pada investasi yang tersendat (http://www.suaramerdeka.com)
Ternyata terorisme tidak saja melahirkan berbagai dampak buruk dengan berbagai kerusakan yang ditimbulkannya. Di lain sisi, terorisme juga dapat melahirkan dampak positif. Dampak positif yang dimaksud adalah lahirnya “refleksivitas” yang juga merupakan salah satu konsep masyarakat risiko Beck. Ia menamakan masyarakat risiko tersebut muncul dalam modernitas refleksif yang merupakan proses individualisasi yang kini terjadi di Barat. Di dalamnya agen-agen semakin bebas dari paksaan struktural dan karenanya semakin mampu menciptakan secara refleksif diri mereka sendiri dan masyarakat dimana mereka hidup (Ritzer dan Goodman, 2005 : 562). Refleksivitas memungkinkan seseorang untuk mempertanyakan pada dirinya sendiri dan risiko yang dihasilkan
Pencegahan dan pemberantasan teroris
Terorisme sendiri adalah risiko, yang menimbulkan berbagai kerusakan yang menjangkau aspek fisik, sosial dan mental masyarakat. Setiap risiko akan melahirkan refleksivitas, begitupun terorisme yang juga akan melahirkan refleksivitas juga. Dalam hal ini yang kemudian lahirlah refleksivitas masyarakat kota akan terorisme sebagai risiko. Refleksivitas tersebut berwujud upaya dalam hal mengatasi risiko, baik mengurangi, maupun meminimalisir atau bahkan mencegah. Berbagai sikap dan disertai tindakan yang dilakukan adalah peningkatan keamanan kota yang menjadi tanggung jawab bersama dari aparat keamanan, hingga masing-masing anggota masyarakat kota itu sendiri. Contoh dari refleksivitas tersebut seperti mengadakan operasi keamanan yang dilakukan aparat keamanan terkait tiap waktu tanpa hanya menunggu momen tertentu seperti hanya dilakukan pasca adanya aksi teror atau saat penangkapan terduga teroris. Tempat-tempat dan berbagai fasilitas publik hendaknya dipasangi perangkat deteksi logam berbahaya dan juga kamera pengawas atau CCTV.
Terorisme sebenarnya merupakan buah dari risiko sosial kehidupan modern masyarakat kota yang penuh ketidakpedulian. Hal inilah yang sebenarnya menjadi titik penting refleksivitas terhadap terorisme, dan sayangnya justru terlupakan hingga tidak begitu disentuh oleh masyarakat kota. Oleh karena itu, refleksivitas masyarakat kota terhadap terorisme yang paling esensial adalah menumbuhkan kepedulian diantara anggota masyarakatnya. Dengan adanya rasa saling peduli antara para anggota masyarakatnya akan mempersempit celah para teroris untuk melancarkan aksinya karena setiap perkembangan yang terjadi di lingkungan masing-masing dapat dipantau dan diperhatikan, termasuk para pendatang di kota.
Hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian di dalam merumuskan mekanisme pencegahan dan pemberantasan serta penanganan terorisme di Indonesia adalah : Pertama, perbaikan terhadap produk hukum dasar, sebagai akibat dari adanya perkembangan masalah terorisme setelah ditetapkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 dan UU No 16 Tahun 2003 sehingga perlu mendapat perhatian untuk dikaji lebih lanjut. Kedua, koordinasi antara badan-badang intelijen militer dan kepolisian merupakan suatu keharusan didalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan terorisme. Ketiga, karena sifat organisasi terorisme yang transnasional maka kerjasama baik pada level bilateral maupun multilateral dalam rangka upaya memberantas terorisme adalah suatu langkah yang mutlak harus dilakukan.Keempat, diperlukan identifikasi dan analisis yang mendalam berkaitan dengan akar persoalan utama (root causes) dari setiap insiden teror. Kelima, didalam kaitannya dengan point pertama, sebagai pemerintahan yang demokratis maka pemerintah perlu menunjukkan ketegasan politik di dalam menjaga keberlangsungan hukum di dalam setiap upaya memberantas terorisme. Keenam, didalam menjalankan berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan serta penanganan terorisme, pemerintah harus sedemikian rupa berupaya mendapat dukungan publik.
Dalam menghadapi ancaman maupun perang melawan terorisme, pemerintah perlu meningkatkan kewaspadaan dengan mengorganisir seluruh kekuatan untuk lebih efektif dan efisien, dan melakukan peningkatan setiap saat serta secara maksimal. Bukan hanya dalam menghadapi ancaman terorisme saja pemerintah harus lebih meningkatkan kewaspadaan, tetapi juga pada penanggulangan dan perlindungan, teutama terhadap korban tindakan terorisme pemerintah berkewajiban untuk memberikan penanggulangan dn perlindungan terorganisir dan secara maksimal, baik kesejahteraan, keamanan maupun secara hukum, karena dengan membantu dan merehabilitasi para korban, memperkecil rasa takut (traumatis) masyarakat disamping meningkatkan kewaspadaan dan partisipasi masyarakat dalam melawan terorisme yang semakin meningkat.
Penyebab terorisme perlu dikenali karena ini berkait dengan upaya pencegahannya. Berikut adalah 5 sebab terorisme -saya sarikan dengan perubahan dari Kesukuan nasionalisme/separatism
1) Kemiskinan dan kesengajaan dan globalisasih
2) Non demokrasi
3) Pelanggaran harkat kemanusiaan
4) Radikalisme agama