Selasa, 30 September 2014

Napoleon Menginvasi Mesir 1801

Napoleon Menginvasi Mesir 1801


Oleh : 1. Fatmawati Rasyid
           2. Irfan
           3. Iskandar Alam

1.    Provil kasus

Jendral dan Kaisar Perancis yang tenar, Napoleon I, keluar dari rahim ibunya di Ajaccio, Corsica, tahun 1769. Nama aslinya Napoleon Bonaparte. Corsica masuk wilayah kekuasaan Perancis cuma lima belas bulan sebelum Napoleon lahir, dan pada saat-saat remajanya Napoleon seorang nasionalis Corsica yang menganggap Perancis itu penindas. Tetapi, Napoleon dikirim masuk akademi militer di Perancis dan tatkala dia tamat tahun 1785 pada umur lima belas tahun dia jadi tentara Perancis berpangkat letnan. ( Conrad H. Lanza, Napoleon dan Strategi Perang Modern )

Ketika Napoleon Bonaparte menginjakkan kakinya di Mesir pada tahun 1798, Mesir berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara politik, negeri ini terbelah oleh dua kekuatan yang saling menghancurkan. Yakni, kekuatan Mamluk yang berkuasa secara turun-temurun sejak abad ke-13 dan kekuatan yang didukung oleh pemerintahan Utsmani di Istanbul. (ibid)

Mesir adalah sebuah negara yang masyarakatnya memiliki nilai religius tinggi. Mereka memandang agama di atas segala-galanya, sebagai bagian integral dari budaya, adat istiadat, dan masyarakat itu sendiri. Kelompok-kelompok Islam selalu bersikukuh untuk tidak terpengaruh dengan Barat. Karena menurut mereka Islam sebenarnya lebih unggul dibanding orang-orang Barat. Mereka mengidealisasikan periode awal Islam dan menurut ajaran mereka hanya kembali ke zaman keemasan inilah Mesir modern bisa sembuh dari segala penyakit. Dengan berdalih  bahwa pengaruh Barat yang dimulai dari invasi Napoleon sebagai akar segala kebobrokan, mereka mendukung  tulisan-tulisan dan deklarasi-deklarasi mereka dengan tafsir Al-Qur’an dari Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah yang keduanya menyeru untuk membaca Al-Qur’an  secara tekstual, sembari menolak semua penafsiran, filsafat, dan teks-teks yang menyertai. (ibid)

Situasi kekuasaan dan pemerintahan di Mesir pada  waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial kemasyarakatan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan  dan diincar oleh negara-negara Islam kuat sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang. Dengan keadaan sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang melebarkan sayap imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi kekayaan alam, peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan untuk  dijadikan batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian menguasai dunia. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hlm. 59).

2.    Alasan

Selesainya Revolusi Perancis 1789 menjadikan negara tersebut menjadi negara besar yang mendapatkan saingan dan tantangan dari Inggris. Inggris pada waktu itu menjalin hubungan yang erat dengan India yang menjadikan Inggris semakin maju dan meningkat kepentingan-kepentingannya. Maka dari itu, Napoleon ingin memutuskan hubungan antara  Inggris di Barat dan India di Timur dengan cara meletakkan kekuasaannya di negara Mesir.

Di samping itu Perancis juga perlu pasaran baru untuk meningkatkan perindustriannya, karena Mesir merupakan tempat yang strategis untuk meningkatkan perekonomian dan untuk menguasai kerajaan besar seperti yang dicita-citakannya, tepatnya adalah Kairo. Napoleon sendiri sebenarnya tidak serta merta hanya ingin memutuskan hubungan antara Inggris dan India, tetapi Napoleon nampaknya ingin menjadikan dirinya sebagai penguasa Eropa yang mengikuti idolanya yaitu Alexander Macedonia yang pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India. Oleh karena itu Napoleon sangat menggebu-gebu untuk segera menguasai Mesir dan meningkatkan industri dan pasaran ekonominya.( Ibid., h. Xxii).
Kedatangan Napoleon di Mesir pada 1798 merupakan momentum penting dari perkembangan Islam. Kedatangan “penakluk dari Prancis” ini tidak hanya membuka mata kaum muslim akan apa yang dicapai oleh peradaban Barat di bidang sains dan teknologi, tetapi juga menandai awal kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam. Di antaranya akibat kontak itu di lingkuangan elit muslim para penguasa dan kalangan cendikiawan gerakan pembaharuan Islam kembali memperoleh gairah. Kaum muslim semakin intensif dan bersemangat mengkaji kembali doktrin-doktrin dasar Islam khususnya dihadapkan pada kemajuan Barat. Kritik-kritik terhadap kondisi umum masyarakat Islam bermunculan, seruan berjihad semakin nyaring terdengar, pandangan lama yang menganggap pintu ijtihad telah tertutup tidak hanya digugat, tetapi bahkan dianggap sebagai cermin dari keterbelakangan intelektual. Tidak heran jika taqlid mendapat kritik pedas dari kalangan pembaharuan.( http//wikipedia_pembaharuan napoleon_pembaharuan Islam di Mesir/load.html).
Setelah jatuhnya prestise sultan-sultan Usmani, mereka tidak mau lagi tunduk kepada Istambul bahkan menolak pengiriman hasil pajak yang mereka pungut dengan cara kekerasan dari rakyat Mesir ke Istambul. Syeikh al-Balad adalah sebutan kepala mereka yang sebenarnya menjadi raja di Mesir pada waktu itu. Karena mereka bertabiat kasar dan biasanya hanya tahu bahasa Turki dan tak pandai bahasa Arab, maka hubungan mereka dengan rakyat Mesir tidak begitu baik. Maka dari itu, Napoleon langsung melakukan serangan ke Mesir karena tahu bahwa antara Mesir dengan kerajaan Usmani sedang mengalamai komunikasi yang kurang begitu baik bahkan bisa dibilang buruk. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Napolen dan pasukannya agar segera menduduki Mesir.

Napoleon bersikeras memperluas dan menguasai daerah-daerah di sekitar Mesir, tetapi ia tidak berhasil. Pada 1798 Napoleon memimpin penyerbuan Perancis ke Mesir. Langkah ini ternyata merupakan malapetaka. Di darat, umumnya pasukan Napoleon berhasil, tapi Angkatan Laut Inggris di bawah pimpinan Lord Nelson mengobrak-abrik armada Perancis. Sementara itu, perkembangan politik di Perancis menghendaki kehadirannya. Pada akhirnya ia kembali ke Perancis dan menyerahkan ekspedisi tersebut kepada Jendral Kleber. Dalam pertempuran yang terjadi di tahun 1801 dengan armada Inggris, kekuatan Perancis di Mesir mengalami kekalahan. Ekspedisi yang dibawa Napoleon itu meninggalkan mesir pada tanggal 31 Agustus1801.( Jaih Mubarok, Sejarah Perdaban Islam, (Bandung: Pustaka Islamika,2008), cet. I, h. 227).

Menurut sumber lain mengatakan bahwa Pada   tanggal   2 Juni  1798 M, ekspedisi Napoleon mendarat di Alexandria (Mesir) dan berhasil mengalahkan Mamluk sehingga berhasil menguasai Kairo. Setelah ditinggal Napoleon digantikan oleh Jenderal Kleber dan kalah ketika bertempur melawan Inggris. Dan pada saat bersamaan datanglah pasukan Sultan Salim III ( Turki Usmani) pada tahun 1789-1807 M dalam rangka mengusir Prancis dari Mesir. Salah satu tentara Turki Usmani adalah Muhammad Ali yang kemudian menjadi gubernur Mesir di bawah Turki Usmani. (ibid)

Menurut Philip K. Hitti, Napoleon Bonaparte mendarat di Iskandariyah pada Juli 1798 dengan tujuan menghukum  kaum Mamluk yang dituduh dalam pidato kedatangannya dalam bahasa Arab sebagai muslim yang tidak baik, tidak seperti dirinya dan orang Perancis untuk mengembalikan kekuasaan Porte. Tujuan utamanya melancarkan serangan hebat kepada kerajaan Inggris dengan cara memutus jalur komunikasinya dengan wilayah Timur, sehinga ia memiliki daya tawar untuk menguasai dunia. Akan tetapi penghancuran armada Perancis di Teluk Aboukir (1 Agustus 1798), tertahannya ekspedisi di Akka (1799) serta kekalahan pertempuran Iskandariyah (21 Maret 1801) menggagalkan ambisi Napoleon di Timur.( Philip K. Hitti, History of The Arabic, (Terj. R. Cecep Lukman hal. 924)

Sedikit flashback bahwa Mesir   menjadi   wilayah Islam pada zaman khalifah Umar bin Khattab pada 640 M,  Mesir ditaklukkan oleh pasukan Amr Ibn al-Ash yang kemudian ia dijadikan gubernur  di sana. Kemudian diganti oleh Abdullah Ibn Abi Syarh pada masa Usman dan berbuntut konflik yang menjadi salah satu sebab terbunuhnya Usman ra.  Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti Fatimiah (sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H) yang terkenal dengan perang salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina, dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki Usmani.( M. Riza Sihbudi dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah,hal.. 82).

 Napoleon datang ke Mesir bukan hanya membawa tentara, tetapi terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Diantara kaum sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Ekspedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk kepentingan ilmiah. Untuk hal ilmiah tersebut dibentuk suatu lembaga ilmiah bernama Institute d’Egypte, yang mempunyai empat bagian: Bagian ilmu pasti, Bagian Ilmu Alam, Bagian Ekonomi-Politik, dan Bagian Sastra-Seni. (M.Q. al-Baqli, ed., al-Mukhtar Al-Mukhtar Tarikh al-Jabarti h. 287)

Ekspedisi Napoleon datang ke Mesir bukan hanya dalam kepentingan militer tetapi juga untuk keperluan ilmiah. Tujuan napoleon sebenarnya adalah melancarkan serangan hebat pada kerajaan Inggris dengan cara memutus jalur komunikasinya dengan wilayah India di Timur, sehingga ia memiliki daya tawar untuk menguasai dunia. Dia ingin mengikuti jejak Alexander Macedonia yang dapat menguasai Eropa dan Asia sampai ke India. Namun, ambisinya gagal karena adanya intervasi Inggris Raya dan Utsmaniyyah. Setelah adanya aliansi militer resmi pertama kali antara Utsmaniyyah dan Negara-negara non muslim.

Di masa tahun-tahun kekuasaanya, Napoleon melakukan perombakan besar-besaran dalam sistem administrasi pemerintahan yang ada di Perancis serta daerah-daerah yang telah dikuasainya. Misalnya, dia merombak struktur keuangan dan kehakiman, dia mendirikan Bank Perancis dan Universitas Perancis, serta menyentralisir administrasi.

Meskipun perubahan ini mempunyai makna penting, tetapi perubahan ini tidak serta merta diterima oleh semua kalangan terlebih untuk negara yang awalnya berbentuk kerajaan. Jadi perombakan yang dilakukan Napoleon butuh jangka panjang untuk bisa diterima oleh semua golongan. Tetapi ada salah satu perombakan yang dilakukan oleh Napoleon yang mempunyai daya pengaruh melampaui batas negeri Perancis sendiri. Yaitu, penyusunan apa yang termasyhur dengan sebutan Code Napoleon. Dalam banyak hal, code ini mecerminkan ide-ide Revolusi Perancis. Misalnya, di bawah code ini tidak ada hak-hak istimewa berdasarkan kelahiran dan asal-usul, semua orang sama derajat di mata hukum. Secara umum, code itu moderat, terorganisasi rapid an ditulis dengan ringkas, jelas, dapat diterima, serta mudah dipahami. Akibatnya, code ini tidak hanya berlaku di Perancis (hukum perdata Perancis yang berlaku sekarang hampir mirip dengan code Napoleon itu) tetapi juga diterima pula di negeri-negeri lain dengan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan keperluan setempat. (Conrad H. Lanza, Napoleon dan Strategi Perang Modern, h. Xxiii).

Ada hal-hal baru selain kemajuan  materi yang dianggap sebagai ide-ide hasil revolusi Perancis yang dibawah Napoleon, yaitu memperkenalkan:
1.  Sistem Pemerintah Republik.
Selama ini belum ada dikenal seorang kepala negara dipilih oleh parlemen yang berkuasa dalam masa tertentu dan harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar. Sedangkan UUD itu sendiri dibuat bukan oleh kepala negara atau raja melainkan oleh parlemen. Parlemenlah yang menentukan  kredibiltas seorang kepala negara, yang kalau menyimpang dari kedudukannya. Sedangkan sistem pemerintah Islam selama ini bersifat absolut.
2. Ide persamaan  (egalite) yaitu adanya persamaan kedudukan antara penguasa dengan rakyat yang diperintah, serta turut berperan aktifnya rakyat dalam pemerintahan. Sebelumnya rakyat mesir tidak tahu menahu dalam soal pemerintahan, maka ketika Napoleon mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al Azhar dan pemuka-pemuka dalam dunia bisnis dari Kairo dan daerah-daerah. Tugas badan ini membuat UU, memelihara ketertiban umum dan menjadikan perantara penguasa-penguasa Perancis dengan rakyat Mesir. Disamping itu dibentuk pula suatu badan yang bernama Diwan Al Ummah yang pada waktu tertentu mengadakan sidang untuk membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional.
3. Ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang Perancis merupakan suatu bangsa, dan kaum Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir dari Kaukasus, jadi sungguh pun orang Islam tapi berlainan bangsa dengan rakyat Mesir. (Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,hal 27-29).

Beberapa  gambaran ide-ide Napoleon tersebut merupakan kontak pertama antara Mesir dengan Barat (Eropa) dan walaupun belum mempunyai pengaruh nyata yang kuat kepada rakyat Mesir, namun lambat laun telah membuka mata ummat Islam tentang kelemahan dan kemunduran mereka selama ini. Dan di abad ke 19  ide-ide ini makin  dapat diterima karena terdapat nilai-nilai positif di dalamnya yang kalau dipraktikkan akan mendorong kemajuan bagi dunia Islam khususnya rakyat Mesir.(ibid)

Keuntungan positif inilah nantinya yang menghidupkan gairah intelektual untuk banyak-banyak menyerap peradaban Barat dalam semua aspeknya. Khusus bagi kemajuan pemahaman dinamika beragama, bangkitnya kesadaran bahwa selama ini umat telah salah kaprah dalam mengapresiasi komitmen roh yang terkandung dalam al-Qur’an. Artinya Barat yang tidak secara langsung diilhami oleh spirit al-Qur’an pun dapat maju dan jaya karena pola hidup dan orientasi akal yang benar, sedangkan  ini hanya sebagian kecil dari isi kandungan al-Qur’an yang bisa diserap oleh Barat dalam mencapai kemajuan-kemajuannya.(ibid)

Setelah persentuhan peradaban Eropa terhadap Mesir itulah, kondisi umat Islam kian menata diri memperhitungkan  kemungkinan langkah-langkah modernisme yang bisa mengangkat citra kaum muslimin secara umum nantinya sebagai negara maju melalui pemikiran-pemikiran cemerlang dan tercerahkan pada modernis seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya. .

Jadi, bisa disimpulkan bahwa pembaharuan yang dibawa Napoleon meliputi pembaharuan dibidang teknologi, yang mana masyarakat Mesir pada waktu itu masih belum mengenal teknologi modern seperti orang-orang Eropa. Serta pembaharuan di bidang Pemerintahan yang mana Napoleon merombak habis-habisan sistem yang sudah berlaku di Mesir sebelumnya, dari mulai sistem kerajaan yang dulunya bersifat kerajaan yang absolut dirombak menjadi sistem republik yang moderat.

3.     Implementasi

Dampak yang dirasakan oleh masyarakat Mesir sangatlah besar. Yang paling besar adalah dampak psikologis yang dirasakan masyarakat. Karena mereka yang sebelumnya tidak pernah tahu sama sekali tentang kecanggihan teknologi begitu Napoleon dan tentaranya masuk menguasai Mesir, masyarakat dipertontonkan dengan segala kemajuan yang ada di Barat. Itu berdampak pada psikologis seseorang yang mana mereka sangat kagum, bagaimana bisa orang-orang Barat memiliki peralatan yang serba canggih sedangkan mereka (Mesir) tidak memilikinya. Mereka mulai diperkenalkan dengan perkembangan ilmu sains dan teknologi modern yang dibawa armada Napoleon seperti, teleskop, mikroskop, alat-alat percobaan kimiawi dan sebagainya. (Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,hal 26).

Kedatangan Napoleon tersebut secara  umum membawa semangat imperialisme (kolonialisme) untuk menaklukkan Mesir agar menjadi daerah jajahannya. Namun ada beberapa hal yang dianggap positif dan meniupkan angin segar bagi persentuhan antara dunia Arab (Islam) dengan Eropa, yaitu terbukanya mata dan pengetahuan tentang ketinggian peradaban Perancis.

Hal ini membersitkan isyarat bahwa Mesir dan Dunia Arab umumnya saat ini berada di alam kegelapan dan keterbelakangan. Yang menguntungkan bagi Mesir, Perancis ketika datang di bawah komando Napoleon  juga menyertakan kaum cerdik pandai dan kalangan ilmuwan. Di dalam  rombongan itu terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Di antara kaum sipil itu ada 167 pakar yang menguasai pelbagai disiplin pengetahuan. Ekspedisi ini memang  berorientasi  militer namun  juga mengandung nilai ilmiah. Semangat dan keperluan ilmiah ini meliputi antara lain:  dibentuknya lembaga ilmiah  bernama  institut d’Egypte yang mempunyai empat bidang bahasan; Bagian Ilmu Pasti, bagian Ilmu Alam, Bagian Ekonomi-Politik dan Bagian Sastra-Seni. Sebagai sarana pendukung rombongan tersebut juga membawa peralatan yaitu dua  set percetakan huruf Latin Arab, dan Yunani.

Institut d’Egypte boleh dikunjungi orang Mesir, terutama para ulamanya, yang diharapkan oleh ilmuwan-ilmuwan Prancis yang bekerja di lembaga itu, akan menambah pengetahuan mereka tentang Mesir, adar istiadatnya, bahasa dan agamanya.

Alat-alat kimiah, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi, dan sebagainya, eksperimen-eksperimen yang dilakukan di lembaga itu, kesungguhan orang Perancis bekerja dan kegemaran mereka pada ilmu-ilmu pengetahuan, semua itu ganjil dan menakjubkan bagi al-Jabarti.

Selain itu, Napoleon membawa ide-ide baru akibat dari revolusi Perancis ke Mesir, antara lain: sistem pemerintahan republik, ide persamaan, dan ide kebangsaan. Itulah beberapa dari ide-ide yang dibawa ekspedisi Napoleon ke Mesir, yang pada waktu itu belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat Islam di Mesir. Tetapi dalam perkembangan kontak dengan Barat di abad Kesembilan belas, ide-ide itu makin jelas dan kemudian diterima sekaligus dipraktekkan.

 Setelah persentuhan peradaban Eropa terhadap Mesir itulah, kondisi umat Islam kian menata diri memperhitungkan  kemungkinan langkah-langkah modernisme yang bisa mengangkat citra kaum muslimin secara umum nantinya sebagai negara maju melalui pemikiran-pemikiran cemerlang dan tercerahkan pada modernis seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya.

Selain itu, penguasaan Napoleon terhadap mesir juga membawa keberkahan tersendiri, karena dengan Perancis menguasai Mesir memberikan dampak yang bisa menimbulkan kesadaran komunal masyarakat Mesir untuk melawan hegemoni penjajah.

Jumat, 26 September 2014

Sejarah perkembangan Universitas Islam Negeri Alauddin  Makassar, yang dulu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar melalui beberapa fase yaitu: 

1. Fase tahun 1962 s.d 1965
Pada mulanya IAIN Alauddin Makassar yang kini menjadin UIN Alauddin Makassar berstatus Fakultas Cabang dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, atas desakan Rakyat dan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan serta atas persetujuan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Nomor 75 tanggal 17 Oktober 1962 tentang penegerian Fakultas Syari'ah UMI menjadi Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Cabang Makassar pada tanggal 10 Nopember 1962. Kemudian menyusul penegerian Fakultas Tarbiyah UMI menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Cabang Makassar pada tanggal 11 Nopember 1964 dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 91 tanggal 7 Nopember 1964. Kemudian Menyusul pendirian Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta cabang Makassar tanggal 28 Oktober 1965 dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 77  tanggal 28 Oktober 1965.

2. Fase tahun 1965 s.d 2005
Dengan mempertimbangkan dukungan dan hasrat yang besar  dari rakyat dan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan terhadap pendidikan dan pengajaran agama Islam tingkat Universitas, serta landasan hukum Peraturan Presiden Nomor 27 tahun 1963 yang antara lain menyatakan bahwa dengan sekurang-kurangnya tiga jenis fakultas IAIN dapat digabung menjadi satu institut tersendiri sedang tiga fakultas dimaksud telah ada di Makassar, yakni Fakultas Syari'ah, Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin, maka mulai tanggal 10 Nopember 1965 berstatus mandiri dengan nama Institut Agama Islam Negeri Al-Jami'ah al-Islamiyah al-Hukumiyah di Makassar dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 79 tanggal 28 Oktober 1965.
Penamaan IAIN di Makassar dengan “Alauddin” diambil dari nama raja Kerajaan Gowa yang  pertama memuluk Islam dan memiliki latar belakang sejarah pengembangan Islam di masa silam, di samping mengandung harapan peningkatan kejayaan Islam di masa mendatang di Sulawesi Selatan pada khususnya dan Indonesia bahagian Timur pada umumnya. Sultan Alauddin adalah raja Gowa XIV tahun 1593-1639, (kakek/datok) dari Sultan Hasanuddin Raja Gowa XVI, dengan nama lengkap I Mangnga'rangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin, yang setelah wafatnya digelari juga dengan Tumenanga ri Gaukanna (yang mangkat dalam kebesaran kekuasaannya), demikian menurut satu versi, dan menurut versi lainnya gelar setelah wafatnya itu adalah Tumenanga ri Agamana (yang wafat dalam agamanya). Gelar Sultan Alauddin diberikan kepada Raja Gowa XIV ini, karena dialah Raja Gowa yang pertama kali menerima agama Islam sebagai agama kerajaan. Ide pemberian nama “ Alauddin ” kepada IAIN yang berpusat di Makassar tersebut, mula pertama dicetuskan oleh para pendiri IAIN “ Alauddin” , di antaranya adalah Andi Pangeran Daeng Rani, (cucu/turunan) Sultan Alauddin, yang juga mantan Gubernur Sulawesi Selatan, dan Ahmad Makkarausu Amansyah Daeng Ilau, ahli sejarah Makassar.
Pada Fase ini, IAIN (kini UIN) Alauddin yang semula hanya memiliki tiga (3) buah Fakultas, berkembang menjadi lima (5)  buah Fakultas ditandai dengan berdirinya Fakuktas Adab berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI No. 148 Tahun 1967 Tanggal 23 Nopember 1967, disusul Fakultas Dakwah dengan Keputusan Menteri Agama RI No.253 Tahun 1971 dimana Fakultas ini berkedudukan di Bulukumba (   153 km arah selatan kota Makassar), yang selanjutnya dengan Keputusan Presiden  RI No.9 Tahun 1987 Fakultas Dakwah dialihkan ke Makassar, kemudian disusul pendirian Program Pascasarjana (PPs) dengan Keputusan Dirjen Binbaga Islam Dep. Agama No. 31/E/1990 tanggal 7 Juni 1990 berstatus kelas jauh dari PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang kemudian dengan Keputusan Menteri Agama RI No. 403 Tahun 1993 PPs IAIN Alauddin Makassar menjadi PPs yang mandiri.

3. Fase Tahun 2005 s.d sekarang
Untuk merespon tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan mendasar atas lahirnya  Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.2 tahun 1989 di mana jenjang pendidikan pada Departemen Pendidikan Nasional R.I dan Departemen Agama R.I, telah disamakan kedudukannya khususnya jenjang pendidikan menegah, serta untuk menampung lulusan jenjang pendidikan menengah di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional R.I dan Departemen Agama R.I, diperlukan perubahan status Kelembagaan dari Institut menjadi Universitas, maka atas prakarsa pimpinan IAIN Alauddin periode 2002-2006 dan atas dukungan civitas Akademika dan  Senat IAIN Alauddin serta Gubernur  Sulawesi Selatan, maka diusulkanlah konversi IAIN Alauddin Makassar menjadi UIN Alauddin Makassar kepada Presiden R.I melalui Menteri Agama R.I dan Menteri Pnedidikan Nasional R.I. Mulai 10 Oktober 2005 Status Kelembagaan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar berubah menjadi (UIN) Universitas Islam Negeri Alauddinn  Alauddin Makassar berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia No 57 tahun 2005 tanggal 10 Oktober 2005 yang ditandai dengan peresmian penandatanganan prasasti oleh Presiden RI Bapak DR H Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Desember 2005 di Makassar.
Dalam perubahan status kelembagaan dari Institut ke Universitas , UIN Alauddin Makasar mengalami perkembangan dari lima (5) buah Fakutas menjadi 7 (tujuh) buah Fakultas dan 1 (satu) buah Program Pascasarjana (PPs) berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 5 tahun 2006 tanggal 16 Maret 2006, yaitu:
    1. Fakuktas Syari'ah dan Hukum
    2. Fakuktas Tarbiyah dan Keguruan
    3. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
    4. Fakultas Adab dan Humaniora
    5. Fakultas Dakwah dan Komunikasi
    6. Fakultas Sains dan Teknologi
    7. Fakultas Ilmu Kesehatan.
    8. Prgoram Pascasarjana(PPs)