Napoleon Menginvasi Mesir 1801
Oleh : 1. Fatmawati Rasyid
2. Irfan
3. Iskandar Alam
1.
Provil
kasus
Jendral
dan Kaisar Perancis yang tenar, Napoleon I, keluar dari rahim ibunya di
Ajaccio, Corsica, tahun 1769. Nama aslinya Napoleon Bonaparte. Corsica masuk
wilayah kekuasaan Perancis cuma lima belas bulan sebelum Napoleon lahir, dan
pada saat-saat remajanya Napoleon seorang nasionalis Corsica yang menganggap
Perancis itu penindas. Tetapi, Napoleon dikirim masuk akademi militer di
Perancis dan tatkala dia tamat tahun 1785 pada umur lima belas tahun dia jadi
tentara Perancis berpangkat letnan. ( Conrad H.
Lanza, Napoleon dan Strategi Perang
Modern )
Ketika Napoleon Bonaparte
menginjakkan kakinya di Mesir pada tahun 1798, Mesir berada dalam kondisi yang
sangat memprihatinkan. Secara politik, negeri ini terbelah oleh dua kekuatan
yang saling menghancurkan. Yakni, kekuatan Mamluk yang berkuasa secara
turun-temurun sejak abad ke-13 dan kekuatan yang didukung oleh pemerintahan
Utsmani di Istanbul. (ibid)
Mesir adalah sebuah negara yang
masyarakatnya memiliki nilai religius tinggi. Mereka memandang agama di atas
segala-galanya, sebagai bagian integral dari budaya, adat istiadat, dan
masyarakat itu sendiri. Kelompok-kelompok Islam selalu bersikukuh untuk tidak
terpengaruh dengan Barat. Karena menurut mereka Islam sebenarnya lebih unggul
dibanding orang-orang Barat. Mereka mengidealisasikan periode awal Islam dan
menurut ajaran mereka hanya kembali ke zaman keemasan inilah Mesir modern bisa
sembuh dari segala penyakit. Dengan berdalih bahwa pengaruh Barat yang
dimulai dari invasi Napoleon sebagai akar segala kebobrokan, mereka
mendukung tulisan-tulisan dan deklarasi-deklarasi mereka dengan tafsir
Al-Qur’an dari Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah yang keduanya menyeru untuk
membaca Al-Qur’an secara tekstual, sembari menolak semua penafsiran,
filsafat, dan teks-teks yang menyertai. (ibid)
Situasi kekuasaan dan pemerintahan
di Mesir pada waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan stabil.
Kekacauan, kemerosotan sosial kemasyarakatan sebagai wilayah yang selalu
diperebutkan dan diincar oleh negara-negara Islam kuat sungguh-sungguh
membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk membangun pun
sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang. Dengan keadaan
sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang melebarkan sayap
imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi kekayaan alam,
peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan untuk dijadikan
batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian menguasai dunia. (Harun Nasution,
Pembaharuan dalam Islam,
Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hlm. 59).
2.
Alasan
Selesainya Revolusi Perancis 1789
menjadikan negara tersebut menjadi negara besar yang mendapatkan saingan dan
tantangan dari Inggris. Inggris pada waktu itu menjalin hubungan yang erat
dengan India yang menjadikan Inggris semakin maju dan meningkat
kepentingan-kepentingannya. Maka dari itu, Napoleon ingin memutuskan hubungan
antara Inggris di Barat dan India di Timur dengan cara meletakkan
kekuasaannya di negara Mesir.
Di samping itu Perancis juga perlu pasaran
baru untuk meningkatkan perindustriannya, karena Mesir merupakan tempat yang
strategis untuk meningkatkan perekonomian dan untuk menguasai kerajaan besar
seperti yang dicita-citakannya, tepatnya adalah Kairo. Napoleon sendiri
sebenarnya tidak serta merta hanya ingin memutuskan hubungan antara Inggris dan
India, tetapi Napoleon nampaknya ingin menjadikan dirinya sebagai penguasa
Eropa yang mengikuti idolanya yaitu Alexander Macedonia yang pernah menguasai
Eropa dan Asia sampai ke India. Oleh karena itu Napoleon sangat menggebu-gebu
untuk segera menguasai Mesir dan meningkatkan industri dan pasaran ekonominya.( Ibid.,
h. Xxii).
Kedatangan Napoleon di Mesir pada 1798 merupakan
momentum penting dari perkembangan Islam. Kedatangan “penakluk dari Prancis” ini
tidak hanya membuka mata kaum muslim akan apa yang dicapai oleh peradaban Barat
di bidang sains dan teknologi, tetapi juga menandai awal kolonialisme Barat
atas wilayah-wilayah Islam. Di antaranya akibat kontak itu di lingkuangan elit
muslim para penguasa dan kalangan cendikiawan gerakan pembaharuan Islam kembali
memperoleh gairah. Kaum muslim semakin intensif dan bersemangat mengkaji
kembali doktrin-doktrin dasar Islam khususnya dihadapkan pada kemajuan Barat.
Kritik-kritik terhadap kondisi umum masyarakat Islam bermunculan, seruan
berjihad semakin nyaring terdengar, pandangan lama yang menganggap pintu
ijtihad telah tertutup tidak hanya digugat, tetapi bahkan dianggap sebagai
cermin dari keterbelakangan intelektual. Tidak heran jika taqlid mendapat kritik
pedas dari kalangan pembaharuan.( http//wikipedia_pembaharuan
napoleon_pembaharuan Islam di Mesir/load.html).
Setelah jatuhnya prestise
sultan-sultan Usmani, mereka tidak mau lagi tunduk kepada Istambul bahkan
menolak pengiriman hasil pajak yang mereka pungut dengan cara kekerasan dari
rakyat Mesir ke Istambul. Syeikh al-Balad adalah sebutan kepala mereka
yang sebenarnya menjadi raja di Mesir pada waktu itu. Karena mereka bertabiat
kasar dan biasanya hanya tahu bahasa Turki dan tak pandai bahasa Arab, maka
hubungan mereka dengan rakyat Mesir tidak begitu baik. Maka dari itu, Napoleon
langsung melakukan serangan ke Mesir karena tahu bahwa antara Mesir dengan
kerajaan Usmani sedang mengalamai komunikasi yang kurang begitu baik bahkan
bisa dibilang buruk. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Napolen dan pasukannya agar
segera menduduki Mesir.
Napoleon bersikeras memperluas dan
menguasai daerah-daerah di sekitar Mesir, tetapi ia tidak berhasil. Pada 1798
Napoleon memimpin penyerbuan Perancis ke Mesir. Langkah ini ternyata merupakan
malapetaka. Di darat, umumnya pasukan Napoleon berhasil, tapi Angkatan Laut
Inggris di bawah pimpinan Lord Nelson mengobrak-abrik armada Perancis.
Sementara itu, perkembangan politik di Perancis menghendaki kehadirannya. Pada
akhirnya ia kembali ke Perancis dan menyerahkan ekspedisi tersebut kepada
Jendral Kleber. Dalam pertempuran yang terjadi di tahun 1801 dengan armada
Inggris, kekuatan Perancis di Mesir mengalami kekalahan. Ekspedisi yang dibawa
Napoleon itu meninggalkan mesir pada tanggal 31 Agustus1801.( Jaih Mubarok, Sejarah
Perdaban Islam, (Bandung: Pustaka Islamika,2008), cet. I, h. 227).
Menurut sumber lain mengatakan bahwa
Pada tanggal 2 Juni 1798 M, ekspedisi Napoleon
mendarat di Alexandria (Mesir) dan berhasil mengalahkan Mamluk sehingga
berhasil menguasai Kairo. Setelah ditinggal Napoleon digantikan oleh Jenderal
Kleber dan kalah ketika bertempur melawan Inggris. Dan pada saat bersamaan
datanglah pasukan Sultan Salim III ( Turki Usmani) pada tahun 1789-1807 M dalam
rangka mengusir Prancis dari Mesir. Salah satu tentara Turki Usmani adalah
Muhammad Ali yang kemudian menjadi gubernur Mesir di bawah Turki Usmani. (ibid)
Menurut Philip K. Hitti, Napoleon
Bonaparte mendarat di Iskandariyah pada Juli 1798 dengan tujuan menghukum
kaum Mamluk yang dituduh dalam pidato kedatangannya dalam bahasa Arab sebagai
muslim yang tidak baik, tidak seperti dirinya dan orang Perancis untuk
mengembalikan kekuasaan Porte. Tujuan utamanya melancarkan serangan hebat
kepada kerajaan Inggris dengan cara memutus jalur komunikasinya dengan wilayah
Timur, sehinga ia memiliki daya tawar untuk menguasai dunia. Akan tetapi
penghancuran armada Perancis di Teluk Aboukir (1 Agustus 1798), tertahannya
ekspedisi di Akka (1799) serta kekalahan pertempuran Iskandariyah (21 Maret
1801) menggagalkan ambisi Napoleon di Timur.( Philip K. Hitti, History of The Arabic, (Terj. R.
Cecep Lukman hal. 924)
Sedikit flashback bahwa Mesir
menjadi wilayah Islam pada zaman khalifah Umar bin
Khattab pada 640 M, Mesir ditaklukkan oleh pasukan Amr Ibn al-Ash yang
kemudian ia dijadikan gubernur di sana. Kemudian diganti oleh Abdullah
Ibn Abi Syarh pada masa Usman dan berbuntut konflik yang menjadi salah satu
sebab terbunuhnya Usman ra. Mesir menjadi salah satu pusat peradaban
Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti
Fatimiah (sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah
(567-648 H) yang terkenal dengan perang salib dan perjanjian ramalah mengenai
Palestina, dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki
Usmani.( M. Riza Sihbudi
dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah,hal..
82).
Napoleon datang ke Mesir bukan hanya membawa
tentara, tetapi terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Diantara kaum sipil itu
terdapat 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Ekspedisi itu datang
bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk kepentingan ilmiah.
Untuk hal ilmiah tersebut dibentuk suatu lembaga ilmiah bernama Institute
d’Egypte, yang mempunyai empat bagian: Bagian ilmu pasti, Bagian Ilmu Alam,
Bagian Ekonomi-Politik, dan Bagian Sastra-Seni. (M.Q. al-Baqli, ed., al-Mukhtar Al-Mukhtar Tarikh al-Jabarti
h. 287)
Ekspedisi Napoleon datang ke Mesir
bukan hanya dalam kepentingan militer tetapi juga untuk keperluan ilmiah.
Tujuan napoleon sebenarnya adalah melancarkan serangan hebat pada kerajaan
Inggris dengan cara memutus jalur komunikasinya dengan wilayah India di Timur,
sehingga ia memiliki daya tawar untuk menguasai dunia. Dia ingin mengikuti
jejak Alexander Macedonia yang dapat menguasai Eropa dan Asia sampai ke India.
Namun, ambisinya gagal karena adanya intervasi Inggris Raya dan Utsmaniyyah.
Setelah adanya aliansi militer resmi pertama kali antara Utsmaniyyah dan
Negara-negara non muslim.
Di masa tahun-tahun kekuasaanya,
Napoleon melakukan perombakan besar-besaran dalam sistem administrasi
pemerintahan yang ada di Perancis serta daerah-daerah yang telah dikuasainya.
Misalnya, dia merombak struktur keuangan dan kehakiman, dia mendirikan Bank
Perancis dan Universitas Perancis, serta menyentralisir administrasi.
Meskipun perubahan ini mempunyai
makna penting, tetapi perubahan ini tidak serta merta diterima oleh semua
kalangan terlebih untuk negara yang awalnya berbentuk kerajaan. Jadi perombakan
yang dilakukan Napoleon butuh jangka panjang untuk bisa diterima oleh semua
golongan. Tetapi ada salah satu perombakan yang dilakukan oleh Napoleon yang
mempunyai daya pengaruh melampaui batas negeri Perancis sendiri. Yaitu,
penyusunan apa yang termasyhur dengan sebutan Code Napoleon. Dalam banyak hal,
code ini mecerminkan ide-ide Revolusi Perancis. Misalnya, di bawah code ini
tidak ada hak-hak istimewa berdasarkan kelahiran dan asal-usul, semua orang
sama derajat di mata hukum. Secara umum, code itu moderat, terorganisasi rapid
an ditulis dengan ringkas, jelas, dapat diterima, serta mudah dipahami.
Akibatnya, code ini tidak hanya berlaku di Perancis (hukum perdata Perancis
yang berlaku sekarang hampir mirip dengan code Napoleon itu) tetapi juga
diterima pula di negeri-negeri lain dengan perubahan-perubahan yang disesuaikan
dengan keperluan setempat. (Conrad H. Lanza, Napoleon dan Strategi Perang Modern, h. Xxiii).
Ada hal-hal baru selain
kemajuan materi yang dianggap sebagai ide-ide hasil revolusi Perancis
yang dibawah Napoleon, yaitu memperkenalkan:
1. Sistem
Pemerintah Republik.
Selama ini belum ada dikenal seorang
kepala negara dipilih oleh parlemen yang berkuasa dalam masa tertentu dan harus
tunduk kepada Undang-Undang Dasar. Sedangkan UUD itu sendiri dibuat bukan oleh
kepala negara atau raja melainkan oleh parlemen. Parlemenlah yang
menentukan kredibiltas seorang kepala negara, yang kalau menyimpang dari
kedudukannya. Sedangkan sistem pemerintah Islam selama ini bersifat absolut.
2. Ide
persamaan (egalite) yaitu adanya persamaan kedudukan antara
penguasa dengan rakyat yang diperintah, serta turut berperan aktifnya rakyat
dalam pemerintahan. Sebelumnya rakyat mesir tidak tahu menahu dalam soal
pemerintahan, maka ketika Napoleon mendirikan suatu badan kenegaraan yang
terdiri dari ulama-ulama Al Azhar dan pemuka-pemuka dalam dunia bisnis dari
Kairo dan daerah-daerah. Tugas badan ini membuat UU, memelihara ketertiban umum
dan menjadikan perantara penguasa-penguasa Perancis dengan rakyat Mesir.
Disamping itu dibentuk pula suatu badan yang bernama Diwan Al Ummah yang
pada waktu tertentu mengadakan sidang untuk membicarakan hal-hal yang
bersangkutan dengan kepentingan nasional.
3. Ide
kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang Perancis
merupakan suatu bangsa, dan kaum Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir
dari Kaukasus, jadi sungguh pun orang Islam tapi berlainan bangsa dengan rakyat
Mesir. (Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,hal 27-29).
Beberapa gambaran ide-ide
Napoleon tersebut merupakan kontak pertama antara Mesir dengan Barat (Eropa)
dan walaupun belum mempunyai pengaruh nyata yang kuat kepada rakyat Mesir,
namun lambat laun telah membuka mata ummat Islam tentang kelemahan dan
kemunduran mereka selama ini. Dan di abad ke 19 ide-ide ini makin
dapat diterima karena terdapat nilai-nilai positif di dalamnya yang kalau
dipraktikkan akan mendorong kemajuan bagi dunia Islam khususnya rakyat Mesir.(ibid)
Keuntungan positif inilah nantinya
yang menghidupkan gairah intelektual untuk banyak-banyak menyerap peradaban
Barat dalam semua aspeknya. Khusus bagi kemajuan pemahaman dinamika beragama,
bangkitnya kesadaran bahwa selama ini umat telah salah kaprah dalam mengapresiasi
komitmen roh yang terkandung dalam al-Qur’an. Artinya Barat yang tidak secara
langsung diilhami oleh spirit al-Qur’an pun dapat maju dan jaya karena pola
hidup dan orientasi akal yang benar, sedangkan ini hanya sebagian kecil
dari isi kandungan al-Qur’an yang bisa diserap oleh Barat dalam mencapai
kemajuan-kemajuannya.(ibid)
Setelah persentuhan peradaban Eropa
terhadap Mesir itulah, kondisi umat Islam kian menata diri
memperhitungkan kemungkinan langkah-langkah modernisme yang bisa
mengangkat citra kaum muslimin secara umum nantinya sebagai negara maju melalui
pemikiran-pemikiran cemerlang dan tercerahkan pada modernis seperti Jamaluddin
Al Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya. .
Jadi, bisa disimpulkan bahwa
pembaharuan yang dibawa Napoleon meliputi pembaharuan dibidang teknologi, yang
mana masyarakat Mesir pada waktu itu masih belum mengenal teknologi modern
seperti orang-orang Eropa. Serta pembaharuan di bidang Pemerintahan yang mana
Napoleon merombak habis-habisan sistem yang sudah berlaku di Mesir sebelumnya,
dari mulai sistem kerajaan yang dulunya bersifat kerajaan yang absolut dirombak
menjadi sistem republik yang moderat.
3.
Implementasi
Dampak yang dirasakan oleh
masyarakat Mesir sangatlah besar. Yang paling besar adalah dampak psikologis
yang dirasakan masyarakat. Karena mereka yang sebelumnya tidak pernah tahu sama
sekali tentang kecanggihan teknologi begitu Napoleon dan tentaranya masuk
menguasai Mesir, masyarakat dipertontonkan dengan segala kemajuan yang ada di
Barat. Itu berdampak pada psikologis seseorang yang mana mereka sangat kagum,
bagaimana bisa orang-orang Barat memiliki peralatan yang serba canggih
sedangkan mereka (Mesir) tidak memilikinya. Mereka mulai diperkenalkan dengan
perkembangan ilmu sains dan teknologi modern yang dibawa armada Napoleon
seperti, teleskop, mikroskop, alat-alat percobaan kimiawi dan sebagainya. (Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran
dan Gerakan,hal 26).
Kedatangan Napoleon tersebut
secara umum membawa semangat imperialisme (kolonialisme) untuk
menaklukkan Mesir agar menjadi daerah jajahannya. Namun ada beberapa hal yang
dianggap positif dan meniupkan angin segar bagi persentuhan antara dunia Arab
(Islam) dengan Eropa, yaitu terbukanya mata dan pengetahuan tentang ketinggian
peradaban Perancis.
Hal ini membersitkan isyarat bahwa
Mesir dan Dunia Arab umumnya saat ini berada di alam kegelapan dan
keterbelakangan. Yang menguntungkan bagi Mesir, Perancis ketika datang di bawah
komando Napoleon juga menyertakan kaum cerdik pandai dan kalangan
ilmuwan. Di dalam rombongan itu terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita.
Di antara kaum sipil itu ada 167 pakar yang menguasai pelbagai disiplin
pengetahuan. Ekspedisi ini memang berorientasi militer namun
juga mengandung nilai ilmiah. Semangat dan keperluan ilmiah ini meliputi antara
lain: dibentuknya lembaga ilmiah bernama institut d’Egypte
yang mempunyai empat bidang bahasan; Bagian Ilmu Pasti, bagian Ilmu Alam,
Bagian Ekonomi-Politik dan Bagian Sastra-Seni. Sebagai sarana pendukung rombongan
tersebut juga membawa peralatan yaitu dua set percetakan huruf Latin
Arab, dan Yunani.
Institut d’Egypte boleh dikunjungi
orang Mesir, terutama para ulamanya, yang diharapkan oleh ilmuwan-ilmuwan
Prancis yang bekerja di lembaga itu, akan menambah pengetahuan mereka tentang
Mesir, adar istiadatnya, bahasa dan agamanya.
Alat-alat kimiah, seperti teleskop,
mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi, dan sebagainya,
eksperimen-eksperimen yang dilakukan di lembaga itu, kesungguhan orang Perancis
bekerja dan kegemaran mereka pada ilmu-ilmu pengetahuan, semua itu ganjil dan
menakjubkan bagi al-Jabarti.
Selain itu, Napoleon membawa ide-ide
baru akibat dari revolusi Perancis ke Mesir, antara lain: sistem pemerintahan
republik, ide persamaan, dan ide kebangsaan. Itulah beberapa dari ide-ide yang
dibawa ekspedisi Napoleon ke Mesir, yang pada waktu itu belum mempunyai
pengaruh yang nyata bagi umat Islam di Mesir. Tetapi dalam perkembangan kontak
dengan Barat di abad Kesembilan belas, ide-ide itu makin jelas dan kemudian
diterima sekaligus dipraktekkan.
Setelah persentuhan peradaban Eropa terhadap
Mesir itulah, kondisi umat Islam kian menata diri memperhitungkan
kemungkinan langkah-langkah modernisme yang bisa mengangkat citra kaum muslimin
secara umum nantinya sebagai negara maju melalui pemikiran-pemikiran cemerlang
dan tercerahkan pada modernis seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan
murid-muridnya.
Selain itu, penguasaan Napoleon
terhadap mesir juga membawa keberkahan tersendiri, karena dengan Perancis
menguasai Mesir memberikan dampak yang bisa menimbulkan kesadaran komunal
masyarakat Mesir untuk melawan hegemoni penjajah.